Selasa, 6 Oktober 2009 | 03:00 WIB
Oleh Krisna wijaya
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/06/03004819/tata.kelola.baru.perbankan
Salah satu kesepakatan penting pertemuan para pemimpin G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, adalah disetujuinya rekomendasi The Financial Stability Board, yang beranggotakan menteri keuangan anggota G-20, kepada para pemimpin G-20. Secara garis besar, rekomendasi FSB yang berkaitan dengan perbankan adalah kesepakatan terus melakukan regulasi.
Tujuan utama deregulasi adalah menjamin dilaksanakannya prinsip kehati-hatian dalam mengelola perbankan.
Sekalipun prinsip kehati-hatian sudah banyak diregulasi, tampaknya dengan belajar dari krisis keuangan yang terjadi masih dianggap belum cukup.
Kenyataan menunjukkan, setiap terjadi krisis keuangan yang diikuti dengan krisis perbankan justru bebannya ada di pemerintah. Atas dasar itu, regulasi yang akan dilakukan fokus kepada masalah kecukupan modal, tata kelola likuiditas, dan kepengurusan utamanya berkaitan dengan kompensasi.
Sekalipun kecukupan modal berupa rasio kecukupan modal (CAR) pada umumnya telah memenuhi standar yang diberlakukan, tetapi masih dipandang belum memadai sehingga harus mempunyai cadangan penyangga permodalan yang memadai, baik saat kondisi bank membaik maupun dalam kondisi memburuk.
Upaya memperkuat permodalan bank dilakukan melalui berbagai pendekatan, yaitu selain secara nominal, regulasi permodalan juga dikaitkan dengan kualitas dan struktur permodalannya. Misalnya, permodalan yang berasal dari saham disetor dan laba ditahan akan ditingkatkan porsinya. Sementara definisi permodalan lainnya akan direvisi.
Hal lain yang juga akan diatur adalah hal-hal yang berkaitan dengan pembagian dividen, pembelian saham kembali, serta kompensasi bagi pengurus bank.
Segala kebijakan yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut harus mempertimbangkan kemampuan bank untuk menambah kecukupan modalnya.
Selain permodalan, hal lain yang direkomendasikan adalah masalah kompensasi bagi para pengurus bank, yaitu direksi dan komisaris. Ini merupakan hal baru dalam regulasi tata kelola perbankan, di mana masalah kompensasi ikut diatur dan dibatasi secara ketat dan tegas.
Bisa jadi, hal itu direkomendasikan atas dasar fakta yang ada, yaitu sering dijumpai banknya bangkrut, tetapi pengurusnya tetap atau bahkan bertambah kaya.
Sistem kompensasi untuk pengurus bank tidak hanya didasarkan pada kinerja, tetapi juga akan dikaitkan dalam konteks manajemen risiko secara keseluruhan. Misalnya, jumlah kompensasi, seperti gaji, bonus atau tantiem, dan fasilitas lainnya, seperti opsi saham, akan dikaitkan dengan tingkat kecukupan modal.
Hal lain yang juga akan diberlakukan adalah asas transparansi dalam sistem kompensasi baik kepada publik maupun regulator.
Bentuk kompensasi selain harus terbuka juga disertai kriteria yang jelas dan memenuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik agar implementasinya efektif. Masalah kompensasi akan menjadi obyek pengawasan yang disertai sanksi apabila ada pelanggaran.
Kesiapan
Dengan memerhatikan rekomendasi tersebut di atas, diperkirakan industri perbankan nasional dalam waktu dekat harus banyak melakukan penyesuaian sehubungan dengan semakin ketatnya prinsip kehati-hatian.
Menghadapi kondisi tersebut, pada awalnya tentu akan menghasilkan suatu trade off karena dengan semakin ketatnya peraturan yang dituangkan dalam sistem dan prosedur akan ada kecenderungan produknya semakin sulit dijual.
Masalah kecukupan modal barangkali memerlukan perhatian ekstra, mengingat sekadar memenuhi kecukupan modal sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia masih banyak kendala.
Pertanyaannya, apakah dengan semakin tingginya persyaratan kecukupan modal tetap dianggap menarik bagi pemilik untuk tetap memiliki bank? Sekiranya dianggap tidak menarik lagi, lantas apa jalan keluarnya, mengingat solusi merger masih banyak kendala.
Berkaitan dengan masalah kompensasi, pengurus bank seyogianya disikapi bijak dan rasional. Kompensasi bankir Indonesia dari besaran maupun jenisnya masih sangat jauh dari apa yang diterima bankir di Eropa maupun Amerika Serikat.
Ironisnya, dari sisi tanggung jawab dan ketidakpastian hukum lebih berat dirasakan para bankir nasional, apalagi bankir- bankir BUMN.
Di luar masalah kompensasi, secara teknis tata kelola yang baru untuk perbankan nasional tak akan menghadapi kendala berarti. Hal ini didukung adanya keharusan dari Bank Indonesia sejak dua tahun terakhir menerapkan manajemen risiko, baik konsep maupun orangnya, berupa kewajiban mempunyai sertifikasi. Pertanyaannya, sampai sejauh mana perbankan nasional telah melaksanakannya secara disiplin dan bagaimana pengawasan implementasinya.
Krisna Wijaya Pengamat dan Praktisi Perbankan